BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di era globalisasi dan
pasar bebas yang akan berlaku pada tahun 2020 mendatang, kesehatan dan
keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan
ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh
seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal
tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia, telah
ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di
masa depan, yang penduduknya hidup di dalam lingkungan dan perilaku sehat,
memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (Prabowo, 2011).
Pelaksanaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan
kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja
dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK)
dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan
kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka
kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa
pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia.
(Prabowo, 2011).
Dalam penjelasan
undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara
lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak
terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan
disekitarnya. Tenaga kesehatan yang perlu kita perhatikan yaitu semua tenaga
kesehatan yang merupakan suatu institusi dengan jumlah petugas kesehatan dan
non kesehatan yang cukup besar. Kegiatan tenaga atau petugas kesehatan
mempunyai risiko berasal dari faktor fisik, kimia, ergonomi dan psikososial.
Variasi, ukuran, tipe dan kelengkapan sarana dan prasarana menentukan kesehatan
dan keselamatan kerja. Seiring dengan kemajuan IPTEK, khususnya kemajuan
teknologi sarana dan prasarana, maka risiko yang dihadapi petugas tenaga
kesehatan semakin meningkat. (Nuraini, 2012).
Petugas atau tenaga
kesehatan merupakan orang pertama yang terpajan terhadap masalah kesehatan yang
merupakan kendala yang dihadapi untuk setipa tahunnya. Selain itu dalam
pekerjaannya menggunakan alat - alat kesehatan, berionisasi dan radiasi serta
alat-alat elektronik dengan voltase yang mematikan, dan melakukan percobaan
dengan penyakit yang dimasukan ke jaringan hewan percobaan. Oleh karena itu
penerapan budaya “aman dan sehat dalam bekerja” hendaknya dilaksanakan pada semua
Institusi di Sektor / Aspek Kesehatan. (Prabowo, 2011).
1.2
Rumusan
Masalah
Apa saja masalah kesehatan dan keselamatan kerja
bagi tenaga kesehatan dan pencegahannya ?
1.3
Tujuan
Untuk
mengetahui masalah kesehatan dan
keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan dan pencegahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kesehatan
Keselamatan Kerja
2.1.1
Pengertian
Menurut Prabowo (2011) keselamatan
dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan
manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
makmur.
Menurut Hendarman (2010), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja
di perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Sardjito (2012), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan
yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang
mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan
kondisi pekerja.
Mathis dan Jackson (2002),
menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan
terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan
pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan
stabilitas emosi secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang
dikutip oleh Boby Shiantosia (2000), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja adalahsuatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu
bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar
pabrik atau tempat kerja tersebut.
Jackson (1999), menjelaskan bahwa
Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada
kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan
oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Kesehatan
kerja (Occupational health) merupakan
bagian dari kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan semua pekerjaan yang
berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi kesehatan pekerja (dalam
hal ini Dosen, Mahasiswa dan Karyawan). Bahaya pekerjaan (akibat kerja),
Seperti halnya masalah kesehatan lingkungan lain, bersifat akut atau khronis
(sementara atau berkelanjutan) dan efeknya mungkin segera terjadi atau perlu
waktu lama. Efek terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak
langsung.Kesehatan masyarakat kerja perlu diperhatikan, oleh karena selain
dapat menimbulkan gangguan tingkat produktifitas, kesehatan masyarakat kerja
tersebut dapat timbul akibat pekerjaanya. (Sardjito, 2011)
Sedangkan pengertian secara keilmuan
adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun
industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan
konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya
resiko kecelakaan di lingkungan kerja.
(Sardjito, 2011)
2.1.2 Tujuan Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Secara umum, kecelakaan
selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga. Kecelakaan kerja
dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau
perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai
setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan
kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan
kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi kecelakaan kerja
adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau mengadakan
pengawasan yang ketat. (Nuraini, 2012).
Keselamatan dan kesehatan kerja pada
dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya
kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat
suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau
tidak. (Nuraini, 2012).
Tujuan kesehatan kerja
adalah :
1.
Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja di
semua lapangan pekerjaan ketingkat yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental
maupun kesehatan sosial.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh tindakan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaanya dari kemungkinan
bahaya yang disebabkan olek faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.
4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya. Kesehatan kerja
mempengaruhi manusia dalam hubunganya dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya,
baik secara fisik maupun psikis yang meliputi, antara lain: metode bekerja,
kondisi kerja dan lingkungan kerja yang mungkin dapat menyebabkan kecelakaan,
penyakit ataupun perubahan dari kesehatan seseorang. (Nuraini,
2012).
Menurut Mangkunegara (2002)
bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
1. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan
kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
2.
Agar setiap perlengkapan dan peralatan
kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
3.
Agar semua hasil produksi dipelihara
keamanannya.
4.
Agar adanya jaminan atas pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
5.
Agar meningkatkan kegairahan, keserasian
kerja, dan partisipasi kerja.
6.
Agar terhindar dari gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
7.
Agar setiap pegawai merasa aman dan
terlindungi dalam bekerja
2.1.3
Tiga Komponen Utama Yang Mempengaruhi Seseorang
Bila Bekerja
Pada hakekatnya ilmu kesehatan kerja
mempelajari dinamika, akibat dan problematika yang ditimbulkan akibat hubungan
interaktif tiga komponen utama yang
mempengaruhi seseorang bila bekerja yaitu :
1.
Kapasitas
kerja: Status kesehatan kerja, gizi kerja, dan lain-lain.
2.
Beban
kerja: fisik maupun mental.
3.
Beban
tambahan yang berasal dari lingkungan kerja antara lain:bising, panas, debu, parasit,
dan lain-lain.
Bila ketiga komponen tersebut serasi
maka bisa dicapai suatu kesehatan kerja yang optimal. Sebaliknya bila terdapat
ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit
ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktifitas kerja.
(Prabowo, 2011).
2.1.4 Undang-Undang Ketenagakerjaan
Keselamatan dan kesehatan kerja
difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia
pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam
mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis
kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan
tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai
tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. (Prabowo, 2011).
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003,
dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.
Untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu
Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai
menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang
No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala
lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam
air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik
Indonesia.
Undang-undang tersebut juga mengatur
syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. (Prabowo, 2011).
Walaupun sudah banyak peraturan yang
diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya
karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana
yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan
lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan
kerjasama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3
agar terjalan dengan baik. (Nuraini, 2012).
2.1.5 Indikator Penyebab Keselamatan Kerja
Menurut Mangkunegara (2002), bahwa indikator penyebab keselamatan kerja adalah:
1. Keadaan
tempat lingkungan kerja, yang meliputi:
a. Penyusunan dan penyimpanan
barang-barang yang berbahaya yang kurang diperhitungkan keamanannya.
b. Ruang kerja yang terlalu
padat dan sesak
2. Pembuangan kotoran dan
limbah yang tidak pada tempatnya.
3. Pemakaian
peralatan kerja, yang meliputi:
a. Pengaman peralatan kerja
yang sudah usang atau rusak.
b. Penggunaan mesin, alat
elektronik tanpa pengaman yang baik Pengaturan penerangan.
3.1.6
Fasilitas Atau
Sarana/Prasarana Tenaga Kesehatan
Sarana/Prasana Kesehatan
adalah sarana kesehatan yang meliputi berbagai alat / media elektronik yang
harus ada di Tempat Kerja Kesehatan untuk penentuan jenis penyakit, penyebab
penyakit, kondisi kesehatan dan faktor yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan
perorangan dan masyarakat. (Sardjito, 2012).
1. Disain
Sarana / Prasarana Kesehatan harus mempunyai sistem yang memadai dengan
sirkulasi udara yang adekuat agar suasana di dalam ruangan tersebut menjadi
nyaman.
2. Disain
Sarana / Prasarana Kesehatan harus mempunyai pemadam api yang tepat terhadap
segala sesuatu yang bisa menyebabkan terjadinya kebakaran.
3. Harus
tersedia alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaam (P3K)
3.1.7
Masalah Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja
Kinerja (performen) setiap
petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen
kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang
dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut
serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan
peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat
menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat
kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. (Sardjito, 2012).
1. Kapasitas
Kerja
Status
kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari
beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30– 40% masyarakat pekerja
kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi
tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para
pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat
lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih di isi
oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan,
sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala
terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
2. Beban
Kerja
Sebagai
pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24
jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium
menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang
berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya
perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat
beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih
relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara
berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.
3. Lingkungan
Kerja
Lingkungan
kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja dapat
menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan
Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related
Diseases).
(Sardjito, 2012).
3.1.8
Identifikasi Masalah
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Dan Pencegahannya
Menurut Sardjito (2012), kecelakaan
kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Biasanya
kecelakaan menyebabkan, kerugian material dan penderitaan dari yang paling
ringan sampai kepada yang paling berat. Kecelakaan di laboratorium dapat
berbentuk 2 jenis yaitu :
a.
Kecelakaan medis, jika yang
menjadi korban pasien
b.
Kecelakaan kerja, jika yang
menjadi korban petugas laboratorium itu sendiri.
Penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi dalam
kelompok :
1. Kondisi
berbahaya (unsafe condition), yaitu yang tidak aman dari:
a.
Peralatan / Media
Elektronik, Bahan dan lain-lain
b.
Lingkungan kerja
c.
Proses kerja
d.
Sifat pekerjaan
e.
Cara kerja
2. Perbuatan
berbahaya (unsafe act), yaitu perbuatan berbahaya dari manusia, yang dapat
terjadi antara lain karena:
a.
Kurangnya pengetahuan dan
keterampilan pelaksana
b.
Cacat tubuh yang tidak
kentara (bodily defect)
c.
Keletihanan dan kelemahan
daya tahan tubuh.
d.
Sikap dan perilaku kerja
yang tidak baik
Beberapa contoh kecelakaan
yang banyak terjadi di Tempat Kerja Kesehatan :
1.
Terpeleset, biasanya karena
lantai licin.
Terpeleset dan terjatuh
adalah bentuk kecelakaan kerja yang dapat terjadi di tempat kerja kesehatan akibat :
a.
Ringan memar
b.
Berat fraktura, dislokasi, memar otak, dll.
Pencegahan :
a.
Pakai sepatu anti slip
b.
Jangan pakai sepatu dengan
hak tinggi, tali sepatu longgar
c.
Hati-hati bila berjalan
pada lantai yang sedang dipel (basah dan licin) atau tidak rata konstruksinya.
d.
Pemeliharaan lantai dan
tangga
2.
Mengangkat beban
Mengangkat beban merupakan
pekerjaan yang cukup berat, terutama bila mengabaikan kaidah ergonomi.
Akibat : cedera pada punggung
Pencegahan :
a.
Beban jangan terlalu berat
b.
Jangan berdiri terlalu jauh
dari beban
c. Jangan
mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi pergunakanlah tungkai bawah
sambil berjongkok
d.
Pakaian penggotong jangan
terlalu ketat sehingga pergerakan terhambat.
3.1.9
Penyakit Akibat Kerja &
Penyakit Akibat Hubungan Kerja di Tempat Kerja Kesehatan
Menurut Sardjito (2012), penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau
asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di
tempat kerja. Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai
penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu
silika dan Silikosis, uap timah dan keracunan timah. Akan tetapi penyebab
terjadinya akibat kesalahan faktor manusia juga (WHO).
Berbeda dengan Penyakit
Akibat Kerja, Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) sangat luas ruang lingkupnya.
Menurut Komite Ahli WHO (1973), Penyakit Akibat Hubungan Kerja adalah “penyakit
dengan penyebab multifaktorial, dengan kemungkinan besar berhubungan dengan
pekerjaan dan kondisi tempat kerja. Pajanan di tempat kerja tersebut
memperberat, mempercepat terjadinya serta menyebabkan kekambuhan penyakit.
(Nuraini, 2012).
Menurut Sardjito (2012), Penyakit
akibat kerja di Tempat Kerja Kesehatan umumnya berkaitan dengan faktor biologis
(kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien); faktor kimia (pemaparan dalam
dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada kulit, zat
kimia/solvent yang menyebabkan kerusakan hati; faktor ergonomi (cara duduk
salah, cara mengangkat pasien salah); faktor fisik dalam dosis kecil yang terus
menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi, radiasi dll.); faktor psikologis
(ketegangan di kamar penerimaan pasien, gawat darurat, karantina dll.)
1) Faktor
Biologis
Lingkungan kerja pada
Pelayanan Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya strain kuman yang
resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang
bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang
menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B)
dapat menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya
karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus. Angka kejadian
infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis
kemungkinan kontaminasi pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter di RS
mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada dokter
yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah
yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen, debu
beracun mempunyai peluang terkena infeksi.
Pencegahan :
a. Seluruh
pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan, epidemilogi dan
desinfeksi.
b. Sebelum
bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan dalam keadaan sehat
badani, punya cukup kekebalan alami untuk bekerja dengan bahan infeksius, dan
dilakukan imunisasi.
c. Menggunakan
desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang benar.
d. Sterilisasi
dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan infeksius dan spesimen
secara benar
e. Pengelolaan
limbah infeksius dengan benar
f. Menggunakan
kabinet keamanan biologis yang sesuai.
g. Kebersihan
diri dari petugas.
2)
Faktor Kimia
Petugas di tempat kerja
kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti
antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen
antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan
cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja
yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit
saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane,
tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat
menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan
basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang
terpapar.
Pencegahan :
Pencegahan :
a.
”Material safety data
sheet” (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada untuk diketahui oleh seluruh
petugas untuk petugas atau tenaga kesehatan laboratorium.
b. Menggunakan karet isap
(rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah tertelannya bahan kimia dan
terhirupnya aerosol untuk petugas / tenaga kesehatan laboratorium.
c.
Menggunakan alat pelindung
diri (pelindung mata, sarung tangan, celemek, jas laboratorium) dengan benar.
d.
Hindari penggunaan lensa
kontak, karena dapat melekat antara mata dan lensa.
e.
Menggunakan alat pelindung
pernafasan dengan benar.
3) Faktor
Ergonomi
Ergonomi
sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan
lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk
terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai
efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan
kuratif, secara populer kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man
to the Job
Sebagian
besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam
posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini
disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya
tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan
dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien
dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis
(stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low
back pain).
4) Faktor
Fisik
Faktor
fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja
meliputi:
a.
Kebisingan, getaran akibat
alat / media elektronik dapat menyebabkan stress dan ketulian
b. Pencahayaan yang kurang di
ruang kerja, laboratorium, ruang perawatan dan kantor administrasi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
c.
Suhu dan kelembaban yang
tinggi di tempat kerja
d.
Terimbas
kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.Terkena radiasi
e. Khusus untuk radiasi,
dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya meningkat sangat
tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang menangani.
Pencegahan :
a.
Pengendalian cahaya di
ruang kerja khususnya ruang laboratorium.
b.
Pengaturan ventilasi dan
penyediaan air minum yang cukup memadai.
c.
Menurunkan getaran dengan
bantalan anti vibrasi
d.
Pengaturan jadwal kerja
yang sesuai.
e.
Pelindung mata untuk sinar
laser
f.
Filter untuk mikroskop
untuk pemeriksa demam berdarah
4.
Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor
psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat menyebabkan stress :
a. Pelayanan
kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang.
Untuk itu pekerja di tempat kerja kesehatan di tuntut untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan
b. Pekerjaan
pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
c. Hubungan
kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama teman
kerja.Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal
ataupun informal.
3.1.10
Pengendalian Penyakit
Akibat Kerja Dan Kecelakaan Melalui Penerapan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
(Hendarman, 2010)
1.
Pengendalian Melalui
Perundang-undangan (Legislative Control) antara lain :
a.
UU No. 14 Tahun 1969
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Petugas kesehatan dan non kesehatan
b.
UU No. 01 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.
c.
UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
d.
Peraturan Menteri Kesehatan
tentang higene dan sanitasi lingkungan.
e.
Peraturan penggunaan
bahan-bahan berbahayaPeraturan/persyaratan pembuangan limbah dll.
2.
Pengendalian melalui
Administrasi / Organisasi (Administrative control) antara lain :
a. Persyaratan
penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas
umur, jenis kelamin, syarat kesehatan
b. Pengaturan
jam kerja, lembur dan shift
c. Menyusun
Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing
instalasi dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya
d. Melaksanakan
prosedur keselamatan kerja (safety procedures) terutama untuk pengoperasian
alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan (boiler, alat-alat radiology, dll)
dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan
e. Melaksanakan
pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan
pencegahannya.
3.
Pengendalian Secara Teknis
(Engineering Control) antara lain :
a. Substitusi
dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja
b. Isolasi
dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan non
kesehatan (penggunaan alat pelindung)
c. Perbaikan
sistim ventilasi, dan lain-lain
4.
Pengendalian Melalui Jalur
kesehatan (Medical Control)
Yaitu upaya untuk menemukan
gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh
pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan
meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun
terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi
lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan
produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk
menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat
(prompt-treatment). Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan
kesehatan pekerja yang meliputi:
a.
Pemeriksaan Awal
Adalah pemeriksaan
kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang calon / pekerja (petugas kesehatan
dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui
apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan
pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya
Pemerikasaan kesehatan awal
ini meliputi :
1)
Anamnese umum
2)
Anamnese pekerjaan
3)
Penyakit yang pernah
diderita
4)
Alrergi
5)
Imunisasi yang pernah
didapat
6)
Pemeriksaan badan
7)
Pemeriksaan laboratorium
rutin
8)
Pemeriksaan tertentu:
9)
Tuberkulin test
10) Psikotest
b.
Pemeriksaan Berkala
Adalah pemeriksaan
kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala yang
disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko
kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala Ruang lingkup
pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti
pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya,
sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
c. Pemeriksaan
Khusus
Yaitu pemeriksaan kesehatan
yang dilakukan pada khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan
dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja.
Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern di
Tempat Kerja Kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga harus
merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya
pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak
berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan
kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi
kecelakaan dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pelaksanaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan
kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja
dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
3.2
Saran
Kami mengetahui makalah kami ini jauh dari
sempurna, karena di dunia ini tidak ada yang sempurna, maka dari itu, kritik
dan saran dari para dosen dan teman-teman sangat kami harapkan, agar
terciptanya makalah yang lebih baik di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Nuraini, Linda. 2012. Kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga
kesehatan. http://www.linda.1563.blogspot.com
Hendarman. 2010. Penyakit Akibat
Kerja & Penyakit Akibat Hubungan Kerja di Tempat Kerja Kesehatan. http://www.infokeselamatankerja.wordpress.com
|
4 komentar:
sering sekali terjadi kecelakaan kerja di karenakan kelalaian pekerja...
www.sepatusafetyonline.com
Menjaga diri sendiri dan orang lain dari hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan kerja itu jauh lebih baik. www.sepatusafetyonline.com
tentang Kami.. http://prashetyaquality.com/pelatihan-k3/tentang-kami.html
bagus makalahnya...
Posting Komentar