Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja kita
tak lepas dari bantuan orang lain. Dengan kata lain kita saling membutuhkan.
Entah itu dalam lingkungan keluarga, dengan teman, dengan tetangga atau dalam
lingkup yang lebih luas lagi.
Dalam hal ini, kita sebagai orang tua bisa mengajarkan ke anak-anak, bagaimana agar anak mau berbagi dengan temannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah:
1. Jangan memaksa anak memahami Anda
Sebagai
contoh, Anda mengambil mainannya dan memberikan kepada anak lain atau temannya.
Apa yang dipelajari atau ada di benak anak ketika itu? Anak akan berpikir bahwa
Anda merampas mainannya, mengganggunya.
Nah, sebagai orang yang paling dekat dengan anak-anak Anda, tugas Anda adalah
memahami pikiran anak, dan memberi contoh verbal tentang berbagi, bukan memaksa
anak-anak untuk memahami Anda.
2. Jangan memaksa anak untuk berbagi.
Anak-anak yang lebih kecil biasanya suka sekali meniru kakak-kakaknya.
Begitu melihat sang kakak bermain dengan bola baru atau boneka baru, misalnya,
dia pasti akan mencoba mengambilnya. Tetapi kita tak bisa berharap sang kakak
akan dengan sukarela memberikan mainannya, bukan? Seringkali orang tua lupa
bahwa makna berbagi adalah menghargai orang lain. Daripada Anda mengajari anak
untuk berbagi mainan, coba lebih ditekankan untuk mengajari anak belajar
menghormati teman atau saudaranya.
3. Mengajarkan bermain bergantian
Bergantian adalah strategi dasar yang digunakan orangtua untuk mengajarkan anak
konsep berbagi.
Setiap kali bermian bersama, anak-anak diminta bermain secara bergantian. Anak
yang paling besar bisa diberikan kepercayaan untuk mengatur, siapa yang lebih
dulu bermain, terus gantian siapa lagi. Bisa dengan duduk berjejer untuk
menunggu giliran bermain. Atau ditinggal main yang lainnya dulu, nanti setelah
tiba giliran dia bermain akan dipanggil.
4. Jangan merebut mainan anak.
Jangan sekali-sekali Anda merebut mainan dari tangan anak hanya demi
mengajarkan perihal berbagi. Sekali Anda mengajarkan kekerasan, maka Anda
tengah mengajari anak hal yang sama. Lebih baik, sampaikan dengan bahasa yang
bagus, dan sodorkan tangan. Yakinlah, hasilnya akan jauh lebih baik daripada
cara pertama.
Belajar berbagi akan lebih mudah bila sudah terbiasa di lingkungan terkecil
yaitu keluarga. Bukan hanya soal mainan, berbagi sepotong kue misalnya, bila
anak sudah terbiasa berbagi dengan saudaranya, dengan adiknya, dengan kakaknya,
maka ia akan lebih mudah berbagi dengan orang lain.
Untuk anak tunggal, mengajari berbagi dengan bapak/ibunya juga tidak apa-apa.
Hal-hal di atas masih dalam lingkup yang sederhana, untuk ke depannya dalam
berbagi bisa yang melibatkan banyak orang, misalnya berbagi dengan anak-anak yatim di panti asuhan, dl
Tips/cara
mengenalkan arti bahaya pada anak.
Kita semua tahu bahwa bahaya ada dimana saja, bahaya ada disekitar kita. Kita
memerlukan cara komunikasi yang tepat untuk memberikan penjelasan selengkap
mungkin mengenai apa itu bahaya, bukan hanya sekadar melarang kepada anak-anak. Ada beragam bahaya yang mungkin bakal ditemui
anak di lingkungannya.
Komunikasi atau penjelasan dengan bahasa yang sederhana tentu akan mudah
dipahami dan diterima oleh anak. Kita sediakan waktu yang cukup untuk
menjelaskannya, jangan terburu-buru. Misalnya anak terluka kena pisau, anak
merasakan sakit. Dan dari hal tersebut, anak akan belajar langsung bahwa
menggunakan pisau itu harus hati-hati, karena membahayakan dirinya.
Contoh lain, setrika yang baru saja dipakai, tentu masih panas. Beri tahu anak,
jangan menyentuhnya, itu masih panas. Anak tidak perlu menyentuhnya secara
langsung karena dikhawatirkan membuatnya cedera dan trauma. (Tapi terkadang,
karena rasa ingin tahu anak yang tinggi, kadang anak memegangnya juga, setelah
merasakan bahwa masih panas, baru percaya deh...).
Bagaimana cara mengenalkan bahaya kepada
anak-anak?
Berikut ini tips/cara mengenalkan arti bahaya pada anak:
1. Jelaskan hubungan sebab-akibat yang mungkin timbul.
Selain dapat membuat anak memahami bahwa sesuatu yang dilarang ini memang
dapat membahayakan dirinya, juga sekaligus dapat mengembangkan kemampuan
kognitifnya untuk mempelajari hubungan sebab-akibat.
Dalam mengenalkan api, misal, berikan penjelasan tentang akibat yang
ditimbulkan. "Api ini berbahaya karena panas. Saking panasnya, bila
terkena api dapat menyebabkan luka bakar di kulit. Permukaan kulit akan
menggelembung seperti balon dan berisi air, rasanya perih dan sakit."
Misalnya ketika si ibu tangannya ada yang sakit terkena panas, ini bisa
diperlihatkan ke anak-anak, sehingga anak akan selalu ingat dan tidak akan
melakukan hal yang berbahaya.
2. Ajak anak untuk mencoba langsung.
Untuk lebih memahami rasa panas itu, ajak anak ke dapur.
Misalnya: suruh anak memegang tempe goreng yang masih panas dan baru saja
diangkat dari penggorengan. Cara ini untuk membuktikan secara konkret akan rasa
panas. Anda bisa sambil memberikan penjelasan. Dari api kompor yang panas,
minyak untuk menggoreng yang panas sehingga masakan bisa matang, tempe yang
sudah diangkat juga panas. Jadi jangan main-main api atau kompor karena
berbahaya.
3. Minta anak mengungkapkan pendapatnya.
Setelah anak merasakan langsung, minta ia mengungkapkan pendapatnya. Dengan
demikian dapat diketahui, apakah si batita sudah memahami atau belum penjelasan
yang baru saja disampaikan.
"Bagaimana? panas kan? sakit tidak? besok jangan diulangi ya!"
4. Ajari anak tentang pertolongan yang
harus ia lakukan bila dirinya mengalami bahaya.
Untuk memudahkan pemahaman si batita, tentunya tak cukup dengan memberikan
penjelasan tetapi sampaikan pula cara-cara yang harus dilakukan dengan konkret.
Contoh : saat anak terkena pisau. Praktekkan cara membersihkan lukanya berikut
cara memberikan obatnya serta cara membalutnya bila perlu. Dengan demikian,
misalnya pada saat si kecil terluka, ia sudah mampu menolong diri sendiri.
Biasanya, ketika sedang berkumpul atau orang tuanya tiba di rumah, anak akan
bercerita tentang lukanya, kenapa dia bisa terluka dan sebagainya. Anda bisa
melihat lukanya, kalau perlu dibersihkan lagi, ganti pembungkus lukanya dengan
yang baru.
5. Untuk masalah elektronik seperti
gambar di atas, Anda sebagai orang tua harus waspada.
Misalnya
dengan menutup colokan yang jarang dipakai, selalu beri pengaman untuk masalah
listrik. Apalagi disini, rata-rata watt-nya besar, misalnya vacuum cleaner,
setrika, blender, mixer dll dengan 1000 watt lebih. Belum elektronik lainnya.
6. Juga hal lain, misalnya kolam, parit.
Sudah
selayaknya kita yang tertib dan waspada, beri pagar untuk kolam, dll. Sering
juga membaca berita anak kecil masuk kolam tak tertolong jiwanya.
Selain kita yang waspada, anak-anak tetap harus diberi tahu bahwa itu
berbahaya.
Artikel
Bermain pasir, yuk! disini dengan
komentar masuk yang sedikit 'ramai' membuatku berpikir ulang. Yang pertama, aku
hidup dimana sih? Kadang lupa kalau pengunjung blog ini sebagian besar berasal
dari Indonesia. Dan artikel disini kadang berisi sharing pengalaman sehari-hari
masalah anak-anak disini atau malah anak-anakku sendiri. Terbiasa dengan
lingkungan yang bersih, tertib, coret-coretan pylox (cat warna-warni) di tempat
umum jarang sekali aku temukan bahkan tidak ada, juga musim yang bisa dikatakan
hanya musim dingin dan musim panas, jarang ada hujan. Anda semua tahu kan,
kalau hujan sering menimbulkan lumut? Nah disini, karena jarang sekali turun
hujan, lumut hampir tidak ada, arena bermain tidak berlumut (tapi kalau sedang
musim debu ya jadi berdebu). Bisa dikatakan disini udaranya kering, tidak
lembab. Jadi melepas anak-anak bermain di tempat
bermain atau di taman tidak begitu khawatir.
Apa reaksi umum orangtua jika melihat anaknya bermain pasir atau lumpur hingga
mengotori wajah, tangan, pakaian, atau bahkan seluruh tubuhnya? Panik, marah,
atau cenderung membiarkan saja?
Menurut para peneliti, biarkan saja anak bermain kotor-kotoran. Bahkan, anak-anak
sesekali harus kotor karena jika terlalu bersih, kemampuan kulit anak untuk
menyembuhkan diri sendiri justru terganggu atau malah rusak.
Hasil penelitian tim peneliti School of Medicine di University of California,
AS, menyebutkan, bakteri bernama Staphylococci yang hidup di
kulit membentuk semacam jaringan yang mencegah peradangan ketika kita terluka.
Bakteri itu juga mengurangi reaksi ketahanan tubuh yang berlebihan. Para pakar
medis mengatakan, temuan tim peneliti itu memberikan penjelasan atas ”hipotesis
kesehatan” yang menyebutkan jika tubuh dibiasakan menghadapi kuman
sejak usia dini, maka kemungkinan besar tubuh akan menciptakan jaringan
pelindung dari berbagai macam alergi.
Selama ini ada pandangan bahwa obsesi masyarakat pada kebersihan sebenarnya
mulai muncul ketika alergi merebak di negara-negara berkembang. Fakta ini
membantu mereka untuk meneliti lebih lanjut tentang cara menangani
penyakit-penyakit kulit yang menular. Dan kesimpulannya, semakin banyak bukti
yang menunjukkan bahwa tubuh sebenarnya akan menjadi lebih kebal jika
kerap terekspos dengan kuman.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, kita bisa mengambil sikap kepada anak-anak
kita, tapi sekali lagi kembali kepada masing-masing juga bagaimana situasi dan
kondisi lingkungan dimana kita tinggal.
0 komentar:
Posting Komentar